Di
daerah bali ada satu budaya yang di lakukan oleh masyarakat yang beragama Hindu
sekitar kepada orang yang sudah meninggal. Budaya ini biasa disebut upacara
Ngaben, upacara ini sudah dilakukan sejak zaman leluhur di Bali. Ngaben secara
etimologis berasal dari kata api yang
mendapat awalan nga, dan akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi
ngapen yang lama kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara
Ngaben selalu melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api
konkret (api sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra
Pendeta yang memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari
kata beya yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi
bekal kepada Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka.
Ada pun makna dilakukan upacara
Ngaben oleh masyarakat Hindu di Bali iyalah :
1. Dengan membakar
jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut
memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian
sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah
juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca
Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing
agar tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta
yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku,
dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c.
Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang
membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam
tubuh.
3. Bagi pihak
keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas,
dan merelakan kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian pada Upacara Ngaben antara
lain:
1.
Ngulapin
Upacara
untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang
bersangkutan meninggal di luar rumah yang bersangkutan (misalnya di Rumah
Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi
setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan
kuburan setempat.
2.
Nyiramin/Ngemandusin
Upacara memandikan dan
membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang
bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol
seperti bunga melati di rongga hidung, belahan kaca di atas mata, daun intaran
di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali
fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila
roh mendiang mengalami reinkarnasi kembali agar dianugrahi badan yang lengkap
(tidak cacat).
3.
Ngajum
Kajang
Kajang adalah selembar
kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta
atau tetua adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan
keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan upacara ngajum kajang dengan
cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para
kerabat melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga
mendiang dapat dengan cepat melakukan perjalanannya ke alam selanjutnya.
4.
Ngaskara
Ngaskara bermakna
penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang
bersangkutan dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya
yang masih hidup di dunia.
5.
Mameras
Mameras berasal dari
kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini
dilaksanakan apabila mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan
cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang melalui doa dan karma
baik yang mereka lakukan.
6.
Papegatan
Papegatan berasal dari
kata pegat, yang artinya putus, makna upacara ini adalah untuk memutuskan
hubungan duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan
menghalangi perjalan sang roh menuju Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga
berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang lebih
baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah
lesung batu dan diatasnya diisi dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti
gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon tersebut. Nantinya
benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar
rumah hingga putus.
7.
Pakiriman
Ngutang
Setelah upacara papegatan maka akan dilanjutkan dengan
pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta kajangnya kemudian dinaikan ke
atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus
ada, dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang
bersangkutan anggota masyarakat akan mengusung semua perlengkapan upacara
beserta jenazah diiringi oleh suara Baleganjur (gong khas Bali) yang
bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di
perjalan menuju kuburan jenazah ini akan diarak berputar 3x berlawanan arah
jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha Bhuta ke
tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna:
Berputar 3x di depan rumah mendiang sebagai simbol perpisahan dengan sanak
keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol
perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
8.
Ngeseng
Ngeseng adalah upacara
pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah
disediakan , disertai sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri,
kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan Tirta Pangentas
yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta,
setelah selesai kemudian barulah jenazah dibakar hingga hangus, tulang-tulang
hasil pembakaran kemudian digilas dan dirangkai lagi dalam buah kelapa gading
yang telah dikeluarkan airnya.
9.
Nganyud
Nganyud bermakna
sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam
roh mendiang dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini
biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
10. Makelud
Makelud biasanya
dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Makna upacara makelud
ini adalah membersihkan dan menyucikan kembali lingkungan keluarga akibat
kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Filosofis 12 hari kesedihan
ini diambil dari Wiracarita Mahabharata, saat Sang Pandawa mengalami masa
hukuman 12 tahun di tengah hutan.